Minggu, 26 Februari 2012

Kain Besurek, Kain Batik Antik Khas Bengkulu

Jalan-jalan ke Kota Bengkulu tidak lengkap tanpa mencari kerajinan khas Bengkulu. Salah satunya adalah kain batik Bengkulu, yakni kain besurek. Toko-toko di kawasan Anggut dan Penurunan di Kota Bengkulu banyak memajang kain besurek. Di kawasan ini juga banyak dijual berbagai cenderamata dan kain tradisional khas Bengkulu.
Akan tetapi, tidak setiap toko menjual besurek asli atau yang dilukis dengan tangan. Sebagian menjual batik printing motif besurek. Pembuatan kain besurek dikerjakan di rumah-rumah penduduk. Namun, akibat sepinya permintaan, kegiatan membatik pun kini sudah semakin jarang dilakukan.
Kain besurek sekarang sudah berbeda dengan kain besurek asli seperti yang dibuat ratusan tahun lalu. Para perajin sudah memadukan besurek yang aslinya hanya bermotif huruf arab dicampur dengan motif bunga Raflesia Arnoldy, bunga khas Bengkulu.
Hal itu dilakukan untuk lebih memasyarakatkan kain besurek. Selain itu, dengan mendobrak tradisi lama diharapkan hasil kerajinan rakyat ini menjadi semakin populer dan dipakai tidak hanya untuk keperluan adat.
Huruf arab yang terbentuk sebenarnya juga tidak bisa dibaca. Menurut Sari Bulan, pemilik Sanggar Batik Sari Bulan, sebenarnya motif yang dia buat tidak ada maknanya dan tidak bisa dibaca. “Hanya bentuk coretan-coretan yang sengaja dimirip-miripkan dengan huruf Arab,” kata Sari.
Motif kain khas Bengkulu ini merupakan sebuah adopsi campuran dari motif kaligrafi Jambi dengan Cirebon. Adopsi ini akhirnya membentuk sebuah desain batik khas Bengkulu.
Besurek dalam bahasa Indonesia artinya bersurat. Menurut Herwansyah, perajin kain besurek dan pemilik Bunian Art Shop, disebut besurek atau bersurat karena kain ini bertuliskan huruf-huruf Arab.
Di beberapa kain, terutama untuk upacara adat, kain ini memang bertuliskan huruf Arab yang bisa dibaca. Tetapi, sebagian besar hanya berupa hiasan mirip huruf Arab.
Motif ini sangat sakral, terutama pada pemakaian kain upacara adat pengantin dan untuk menutupi mayat. Kain jenis ini biasanya berbentuk kerudung wanita calon pengantin yang digunakan untuk upacara ziarah ke makam para leluhur. Upacara ini sangat sakral sehingga penggunaan kain jenis ini tidak boleh sembarangan.
Juga masih ada kain untuk kamar pengantin dan syukuran kelahiran bayi. Selain itu, kain besurek ukuran kecil juga digunakan sebagai ikat kepala laki-laki dalam pakaian adat Bengkulu yang disebut detar.
Saat ini, setiap perajin rata-rata mempunyai empat sampai 10 orang karyawan. Mereka dibayar berdasarkan kain yang mereka hasilkan. Selain itu, jika ada pesanan dalam jumlah besar, perajin memberi order kepada penduduk untuk dikerjakan di rumah masing-masing.
Herwansyah mengatakan, setiap perajin mendapat sekitar Rp 45.000 dari satu lembar kain besurek yang mereka hasilkan. Upah ini untuk batikan yang masih kasar, sedangkan untuk finishing dikerjakan oleh seorang pembatik yang sudah senior dan ahli.
Seorang perajin yang membuat kain besurek berukuran kecil, yang biasanya dipakai untuk detar, mereka mendapat Rp 15.000. Peralatan, bahan baku seperti kain dan bahan kimia, disediakan oleh para perajin.
Seperti juga batik lain di Jawa, para perajin juga mengerjakan batik dengan peralatan sederhana. Mereka biasanya menggunakan satu meja kecil, panci tempat malam (lilin batik), kompor kecil, dan canting.
Sebelum dibatik, pada kain katun atau kain sutra digambar pola besurek. Setelah itu pengerjaan membatik dimulai. Setiap potong kain besurek berukuran 2,25 meter kali satu meter dikerjakan tiga atau empat hari. Lama waktu yang dibutuhkan juga tergantung pada kerumitan pola yang digambar.
Untuk mempercepat proses pengerjaan kain besurek, saat ini para perajin sudah mulai mencampur teknik pengerjaan. Jika dulu murni sebagai batik tulis, kini beberapa perajin sudah mengombinasikannya dengan cap. “Tetapi, sebagian gambar tetap dilukis dengan tangan,” kata Sari.
Harga kain besurek beragam, tergantung kualitas pengerjaan, kerumitan pola, dan kualitas bahan. Kain besurek dari bahan kain sutra harganya antara Rp 180.000 hingga Rp 215.000 per lembar. Semakin rumit, semakin mahal harganya.
Sedangkan kain besurek dari bahan katun harganya cukup murah, antara Rp 50.000 hingga Rp 90.000 per lembar. Menurut Ely, keuntungan dari setiap lembar kain berkisar antara 20 persen dan 30 persen dari harga jual. Namun, kain besurek tua yang sudah sangat jarang ditemui, harganya cukup mahal.
Sepotong kain besurek berusia 75 tahun yang dimiliki oleh Bunian Art Shop, misalnya, dihargai Rp 3 juta.
Usaha untuk melestarikan kain besurek saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Menurut sejumlah perajin tradisional kain besurek, mereka saat ini sudah mulai terdesak oleh batik cetak yang memakai motif kain besurek. Padahal, pemda setempat sudah mewajibkan murid–murid sekolah pada hari tertentu untuk berseragam kain besurek. Bahkan, kurikulum di sekolah untuk muatan lokal adalah kerajinan batik kain besurek.
Proyek seragam dinas pegawai pemerintah daerah dan seragam murid sekolah ini sedikit pun tidak menguntungkan para perajin. “Sudah ada yang menangani, kami tidak dapat apa-apa,” kata Sari.
Menurut Sekretaris Koperasi Perajin Kain Besurek (Kopinkra) Bengkulu Ely Sumiyati anggota Kopinkra yang tersebar di Kota Bengkulu saat ini hanya tinggal sekitar 10 perajin. Kondisi mereka juga sudah mulai kembang kempis akibat tidak mampu bersaing dengan batik printing. Sebelumnya, anggota Kopinkra Kota Bengkulu tercatat 22 perajin.
“Mereka kalah bersaing dengan batik printing motif besurek yang marak dua tahun terakhir ini. Sejak maraknya batik printing motif besurek, banyak anggota kami yang bangkrut,” kata Ely yang pemilik sanggar kerajinan kain besurek Gading Cempaka.
Ely yang juga pegawai di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bengkulu ini mengakui, kesulitan lainnya adalah masalah permodalan dan pemasaran. Perajin tidak bisa bertahan karena mereka sangat tergantung dengan pesanan.
Jika tidak ada pesanan, stok kain mereka tidak terjual dalam waktu yang cukup lama hingga mereka tidak mampu membeli bahan untuk membatik lagi. Akibatnya, kelestarian kerajinan ini terancam karena para perajin sudah mulai kehilangan semangat.
Berbagai kesulitan itulah yang membuat semangat para perajin goyah. “Saya ini sudah setengah hati menjadi perajin. Kalau ada usaha lain, pasti usaha ini sudah saya tinggalkan,” ujar Sari Bulan (47) yang sudah menjadi perajin kain besurek selama 12 tahun ini.
 Sumber : Kompas Cetak

1 komentar:

  1. Menurut saya motif dan design yang dengan menggunakan tecknologi tinggi seperti sekarang ini juga bukan suatu penghalang tapi kita bisa ambil sisi positifnya dengan menuangkan segala bentuk ide dan design dengan tidak meninggalkan ciri khas Bengkulu.....
    Tetaplah berkarya...dengan design yang lebih bagus lagi.....untuk pembuatan dengan technologi seperti sekarang saya siap membantu.....hubungi 081 315 540 675

    BalasHapus