Jalan-jalan ke Kota Bengkulu tidak
lengkap tanpa mencari kerajinan khas Bengkulu. Salah satunya adalah kain
batik Bengkulu, yakni kain besurek. Toko-toko di kawasan Anggut dan
Penurunan di
Kota Bengkulu banyak memajang
kain besurek. Di kawasan ini
juga banyak dijual berbagai cenderamata dan kain tradisional khas
Bengkulu.
Akan tetapi, tidak setiap toko menjual
besurek asli atau yang dilukis dengan tangan. Sebagian menjual batik
printing motif besurek. Pembuatan kain besurek dikerjakan di rumah-rumah
penduduk. Namun, akibat sepinya permintaan, kegiatan membatik pun kini
sudah semakin jarang dilakukan.
Kain besurek sekarang sudah berbeda
dengan kain besurek asli seperti yang dibuat ratusan tahun lalu. Para
perajin sudah memadukan besurek yang aslinya hanya bermotif
huruf arab
dicampur dengan motif bunga
Raflesia Arnoldy, bunga khas Bengkulu.
Hal itu dilakukan untuk lebih
memasyarakatkan kain besurek. Selain itu, dengan mendobrak tradisi lama
diharapkan hasil kerajinan rakyat ini menjadi semakin populer dan
dipakai tidak hanya untuk keperluan adat.
Huruf arab yang terbentuk sebenarnya
juga tidak bisa dibaca. Menurut Sari Bulan, pemilik Sanggar Batik Sari
Bulan, sebenarnya motif yang dia buat tidak ada maknanya dan tidak bisa
dibaca. “Hanya bentuk coretan-coretan yang sengaja dimirip-miripkan
dengan huruf Arab,” kata Sari.
Motif kain khas Bengkulu ini merupakan
sebuah adopsi campuran dari motif kaligrafi Jambi dengan Cirebon. Adopsi
ini akhirnya membentuk sebuah desain
batik khas Bengkulu.
Besurek dalam bahasa Indonesia artinya
bersurat. Menurut Herwansyah, perajin kain besurek dan pemilik Bunian
Art Shop, disebut besurek atau bersurat karena kain ini bertuliskan
huruf-huruf Arab.
Di beberapa kain, terutama untuk upacara
adat, kain ini memang bertuliskan huruf Arab yang bisa dibaca. Tetapi,
sebagian besar hanya berupa hiasan mirip huruf Arab.
Motif ini sangat sakral, terutama pada
pemakaian kain upacara adat pengantin dan untuk menutupi mayat. Kain
jenis ini biasanya berbentuk kerudung wanita calon pengantin yang
digunakan untuk upacara ziarah ke makam para leluhur. Upacara ini sangat
sakral sehingga penggunaan kain jenis ini tidak boleh sembarangan.
Juga masih ada kain untuk kamar
pengantin dan syukuran kelahiran bayi. Selain itu, kain besurek ukuran
kecil juga digunakan sebagai ikat kepala laki-laki dalam pakaian adat
Bengkulu yang disebut detar.
Saat ini, setiap perajin rata-rata
mempunyai empat sampai 10 orang karyawan. Mereka dibayar berdasarkan
kain yang mereka hasilkan. Selain itu, jika ada pesanan dalam jumlah
besar, perajin memberi order kepada penduduk untuk dikerjakan di rumah
masing-masing.
Herwansyah mengatakan, setiap perajin
mendapat sekitar Rp 45.000 dari satu lembar kain besurek yang mereka
hasilkan. Upah ini untuk batikan yang masih kasar, sedangkan untuk
finishing dikerjakan oleh seorang pembatik yang sudah senior dan ahli.
Seorang perajin yang membuat kain
besurek berukuran kecil, yang biasanya dipakai untuk detar, mereka
mendapat Rp 15.000. Peralatan, bahan baku seperti kain dan bahan kimia,
disediakan oleh para perajin.
Seperti juga batik lain di Jawa, para
perajin juga mengerjakan batik dengan peralatan sederhana. Mereka
biasanya menggunakan satu meja kecil, panci tempat malam (lilin batik),
kompor kecil, dan canting.
Sebelum dibatik, pada kain katun atau
kain sutra digambar pola besurek. Setelah itu pengerjaan membatik
dimulai. Setiap potong kain besurek berukuran 2,25 meter kali satu meter
dikerjakan tiga atau empat hari. Lama waktu yang dibutuhkan juga
tergantung pada kerumitan pola yang digambar.
Untuk mempercepat proses pengerjaan kain
besurek, saat ini para perajin sudah mulai mencampur teknik pengerjaan.
Jika dulu murni sebagai batik tulis, kini beberapa perajin sudah
mengombinasikannya dengan cap. “Tetapi, sebagian gambar tetap dilukis
dengan tangan,” kata Sari.
Harga kain besurek beragam, tergantung
kualitas pengerjaan, kerumitan pola, dan kualitas bahan. Kain besurek
dari bahan kain sutra harganya antara Rp 180.000 hingga Rp 215.000 per
lembar. Semakin rumit, semakin mahal harganya.
Sedangkan kain besurek dari bahan katun
harganya cukup murah, antara Rp 50.000 hingga Rp 90.000 per lembar.
Menurut Ely, keuntungan dari setiap lembar kain berkisar antara 20
persen dan 30 persen dari harga jual. Namun, kain besurek tua yang sudah
sangat jarang ditemui, harganya cukup mahal.
Sepotong kain besurek berusia 75 tahun yang dimiliki oleh Bunian Art Shop, misalnya, dihargai Rp 3 juta.
Usaha untuk melestarikan kain besurek
saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Menurut sejumlah perajin
tradisional kain besurek, mereka saat ini sudah mulai terdesak oleh
batik cetak yang memakai motif kain besurek. Padahal, pemda setempat
sudah mewajibkan murid–murid sekolah pada hari tertentu untuk berseragam
kain besurek. Bahkan, kurikulum di sekolah untuk muatan lokal adalah
kerajinan batik kain besurek.
Proyek seragam dinas pegawai pemerintah
daerah dan seragam murid sekolah ini sedikit pun tidak menguntungkan
para perajin. “Sudah ada yang menangani, kami tidak dapat apa-apa,” kata
Sari.
Menurut Sekretaris Koperasi Perajin Kain
Besurek (Kopinkra) Bengkulu Ely Sumiyati anggota Kopinkra yang tersebar
di Kota Bengkulu saat ini hanya tinggal sekitar 10 perajin. Kondisi
mereka juga sudah mulai kembang kempis akibat tidak mampu bersaing
dengan batik printing. Sebelumnya, anggota
Kopinkra Kota Bengkulu
tercatat 22 perajin.
“Mereka kalah bersaing dengan batik
printing motif besurek yang marak dua tahun terakhir ini. Sejak maraknya
batik printing motif besurek, banyak anggota kami yang bangkrut,” kata
Ely yang pemilik sanggar kerajinan kain besurek Gading Cempaka.
Ely yang juga pegawai di
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bengkulu ini mengakui, kesulitan lainnya
adalah masalah permodalan dan pemasaran. Perajin tidak bisa bertahan
karena mereka sangat tergantung dengan pesanan.
Jika tidak ada pesanan, stok kain mereka
tidak terjual dalam waktu yang cukup lama hingga mereka tidak mampu
membeli bahan untuk membatik lagi. Akibatnya, kelestarian kerajinan ini
terancam karena para perajin sudah mulai kehilangan semangat.
Berbagai kesulitan itulah yang membuat
semangat para perajin goyah. “Saya ini sudah setengah hati menjadi
perajin. Kalau ada usaha lain, pasti usaha ini sudah saya tinggalkan,”
ujar Sari Bulan (47) yang sudah menjadi perajin kain besurek selama 12
tahun ini.
Sumber : Kompas Cetak